Selasa, 17 Desember 2013

APA ITU PASTORAL KONSELING?

     Pastoral-Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konseli (klien, orang yang minta bimbingan), dimana Konselor harus membimbing dalam suasana percakapan konseling yang ideal (conductive atmosphere) sehingga Konseli mampu mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana dia berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan hidup itu dengan kapasitas, kekuatan dan kemampuan yang sudah diberikan Tuhan.
Bila berdasarkan definisi di atas maka ada 4 aspek yang harus dimengerti oleh seorang Konselor dalam posisinya sebagai Hamba Tuhan:


A. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara Konselor dengan Konselinya
        Pastoral-Konseling adalah sebuah dialogue antara pendeta dengan Konselinya, yang berhadapan sebagai dua pribadi yang utuh, dalam arti setiap pihak berhak mengekspresikan dirinya. Hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu dialogue, karena yang pertama role (peran) seorang Konselor tidak sama dengan role seorang Pengkhotbah. Penulis mengatakan bahwa role seorang Pengkhotbah cenderung kepada role Nabi yang memberitakan firman Tuhan. Secara praktis, kedudukan itu membuat setiap perkataannya diterima sebagai firman Tuhan sendiri yang tidak bisa dibantah. Jemaat adalah penerima khotbahnya dengan kepercayaan bahwa itulah yang dibutuhkan mereka. Penulis lebih setuju bila role seorang Konselor lebih cenderung kepada Imam dengan landasan Filipi 2:5-8, sedangkan menurut saya role seorang Konselor lebih cenderung kepada orang bijaksana dengan landasan Yeremia 18 : 18; seorang Imam memiliki role yang hampir sama dengan seorang Nabi, mereka adalah mediator Allah yang memiliki otoritas tertinggi sehingga mustahil dibantah. Sedangkan orang bijaksana adalah tempat mencari hikmat ilahi, tetapi perkataan mereka tidak harus dituruti “mentah-mentah” (co: Daniel, Yusuf, dsb), tetapi Konseli dapat setuju ataupun tidak. Kedua, suasana percakapan yang ideal (conductive atmospehere) terwujud ketika Konseli merasa dihargai secara keseluruhan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Konselor dalam hubungan timbal balik:
1.      Sikap Merugikan dari Pihak Konseli
Dalam hubungan interpersonal relationship, Konselor harus menyadari adanya berbagai kemungkinan yang merugikan yang ditimbulkan oleh Konseli terhadap Konselornya. Yang pertama, simbol Allah yang melekat pada hamba Tuhan. Kedua, gejala transference dalam setiap interpersonal relationship antara dua pribadi.
2.      Dorongan yang Merugikan dari dalam Diri Konselor Sendiri
Konselor juga harus waspada akan dorongan/rangsangan yang timbul dari dirinya sendiri, yang dapat menjadi penyebab kegagalan pelayanan Konselingnya. Pertama, kebutuhan untuk melakukan counter-transference , ada 12 wujud dari hal yang ini yang merupakan sikap tidak sehat:
a.       Tidak menepati janji dan semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia
b.      Munculnya perasaan berahi atau sebaliknya, benci kepada Konseli
c.       Membiarkan sikap dan tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi
d.      Selalu ada keinginan untuk menyenangkan Konseli
e.       Berdebat
f.       Memihak dalam konflik yang dihadapi Konseli
g.      Memberikan janji dan jaminan pada Konseli yang terlalu dini tentang kesuksesan kelanjutan pembimbingan
h.      Terbayang-bayang wajah Konseli
i.        Merasa bahwa hidup dan penyelesaian persoalan seluruhnya tergantung pada kita
j.        Sikap membedakan dari anggota yang satu dengan yang lain dalam gereja yang kita gembalakan
k.      Membuat janji pertemuan yang tidak biasa dengan Konseli dan bersikap tidak wajar
Perlu diperhatikan, counter-transference merupakan sikap yang membahayakan dalam Konseling. Hamba Tuhan harus menyadari bahwa dia bukan Psikiater ataupun Psychoanalist yang memang terlatih untuk memakainya dengan tujuan terapi, maka counter-transference tidak boleh dilakukan dengan tujuan apapun juga. Karena gejala transference dari Konseli pasti terjadi, maka itu adalah tanggung jawab Konselor.
Konselor harus mengenal benar gejala transference dan memakai role nya untuk menolong Konseli. Lalu menyadarkan Konseli tentang apa yang sedang terjadi dengan dirinya dan menyadari unsur-unsur yang tidak realistis yang mempengaruhi perasaan dan tingkah lakunya pada saat itu. Dan menolong Konseli untuk menemukan identitasnya dalam tanggung jawabnya kepada Tuhan lalu mendorongnya untuk mengambil suatu keputusan etis yang rasional. Pada akhirnya keputusan ada di tangan Konseli, role kita hanya sebagai pemberi opsi dan penuntun agar ia dapat mengambil opsi yang terbaik bagi dirinya. Hal kedua yang harus diwaspadai oleh seorang Konselor adalah menikmati simbol Allah yang ada padanya.


B.    Hamba Tuhan Sebagai Konselor
        Kita harus sepakat bahwa Pelayanan Konseling adalah bagian integral dari Pelayanan hamba Tuhan, artinya identitasnya akan tidak lengkap bila ia tidak melakukan bidang Pelayanan ini. Tapi hal ini tidak mengindikasikan bahwa setiap hamba Tuhan dapat melakukan Pelayanan ini dengan baik dan benar, mereka harus mengembangkan disiplin dan skill dalam hal tersebut.


1. Kecenderungan ke Arah Professionalisme
        Penulis mendorong setiap hamba Tuhan untuk mengembangkan dirinya dengan belajar tentang Pastoral-Konseling akan tetapi tidak setuju ketika seseorang menjadi spesialisasi dalam hal ini. Karena hubungan Konselor dengan Konseli bukanlah hubungan professional melainkan fungsional, sebab peranan dan panggilannya dalam konseling hanya bagian dari integral dari keseluruhan role dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Seorang hamba Tuhan seharusnya mengembangkan disiplin dan kemampuan bukan untuk menjadi professional counselor tetapi hamba Tuhan yang terampil dalam pelayan Konseling, ditandai oleh:
1.  Adanya pengetahuan yang cukup tentang teori-teori personality dan psikologi pada umumnya
2.  Adanya kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktik khususnya teori-teori tentang metode-metode dan observasi dan diagnosa
3.     Adanya training yang cukup di bawah bimbingan dan supervise seorang professional
4. Adanya kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba Tuhan dalam peranannya sebagai Konselor dalam interpersonal relationship nya dengan Konseli
5.  Adanya kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang tersedia untuk mensukseskan pelayanan Konselingnya
6.     Adanya pengertian yang benar tentang scoop pertanggung jawabannya sebagai Konselor
7.  Adanya disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan Konseling dalam batasan profesinya sebagai hamba Tuhan, antara lain:

a.       Penyusunan data-data dan penyimpanan catatan dalam sistem file yang rapih dan aman
b.   Membedakan dengan jelas antara short-term dan long-term Konseling, juga antara Konseling secara informal maupun pelayanan formal.
c.       Tersedianya kantor atau ruang Konseling yang tidak terganggu
d.      Tersediannya referrals yang dapat dihubungi setiap saat
e.  Tidak mencoba melakukan diagnosa medis, psycho test, eksperimen, pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang menjadi wewenang professional lain
f.   Tahu bagaimana menjernihkan perbedaan antara free gift dan pembayaran yang diberikan oleh Konselinya


2. Kecenderungan untuk Melakukan Pelayanan Konseling Tanpa Tanggung Jawab

Kemungkinan yang kedua penyebab kegagalan hamba Tuhan adalah kemunafikan (sikap tidak jujur terhadap diri sendiri) dan ketidaksediaan memikul tanggung jawab. Seorang hamba Tuhan seharusnya menyerahkan diri dalam kepatuhan total pada Allah Bapa-Nya dalam pelayanan-Nya.

-Pastoral Konseling adalah pelayanan Konseling yang unik karena berbeda dengan Konseling sekuler.
-Pastoral Konseling adalah pelayanan yang berat karena seluruh tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Tuhan disatukan. Oleh karena itu, tidak heran bila banyak hamba Tuhan memilih tidak mengambil pelayanan ini, dan diekspresikan dalam sikap-sikap negatif seperti:

       I.      3. idak jujur terhadap diri sendiri.
Sikap yang merugikan ini umumnya timbul karena:
a)      Ketidaksediaan memikul beban pelayanan lebih daripada apa yang ia sukai
Seringkali hamba Tuhan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil multiple role, karena ia harus bisa menangani seluruh kegiatan gereja, tetapi hal ini rupanya memicu timbulnya sikap yang membahayakan :

·         Menikmati rutinitas.
·         Merasa sudah berfungsi.
·         Menikmati ketergantungan (dependency) dari seluruh gereja itu padanya.Dengan sikap seperti itu hamba Tuhan umumnya akan menolak tanggung jawab dalam tugas pelayanan Konseling, karena dianggap tambahan dari pelayan lain yang lebih serius.

b)      Ketakutan pada keakraban
Setiap hamba Tuhan seharusnya memiliki interpersonal relationship yang akrab dengan setiap dombanya, karena pengalaman pribadi sebagai orang percaya merupakan unsur terpenting di dalam keberhasilan Konseling (hal yang tidak dikenal dalam Konseling sekuler). Kebutuhan ini sifatnya sangat fundamental menurut para ahli, bahkan dalam Mat 23:39 hal ini disinggung sebagai hukum yang utama. Rupanya hal ini merupakan gejala kejiwaan yang ditimbulkan dari kegagalan seseorang melewati fase penemuan identitas pribadinya pada masa remaja. Gejala ini dapat menyebabkan kegagalan yang fatal dalam pelayanan Konseling, maka dari ini ada beberapa gejala keterasingan yang harus diwaspadai.
·         Ketidakmatangan emosi (emotional immaturity)
·         Miskin dalam Kasih (lack of compassion)
·         Takut dirugikan dan dikecewakan (fear of being hurt)
·         Perasaan rendah diri (low self-esteem)
·         Perasaan bersalah yang berlebihan (guilt feeling)

Konselor biasanya sadar akan gejala-gejala di atas, tetapi untuk mengatasinya mereka membangun suatu bentuk “keakraban semu” (pseudo intimacy) sebagai gantinya. Misalnya dalam bentuk:
·         Keramahtamahan dan basa-basi
·         Ringan tangan dan ringan kaki

Gejala-gejala kejiwaan ini akan merugikan hamba Tuhan tersebut karena cenderung melakukan pelayanan Konseling seperti mesin. Padahal ini adalah suatu pelayanan dan bukan suatu pekerjaan biasa, maka perlu  menempatkan dirinya sebagai satu pribadi dalam hubungan dengan Konseli.

4. ikap menolak tanggung jawab
Hamba Tuhan yang mengerti bahwa Pastoral-Konseling adalah pelayanan yang pasti harus ia lakukan tetapi mencoba menghindar akan berkata, bahwa Konseling tidak perlu aspek Psikologi karena orang yang kenal firman Tuhan pasti dapat melayani dengan baik atau menekankan salah satu bidang yang disukainya saja. Keterpaksaan seperti itu akan  membuat Konselor memilih bentuk yang tidak sehat, seperti:

1.    Informalitas (Informality), bentuk atau model pelayanan Konseling yang popular di Indonesia. Bekerja tanpa rencana, jam kantor, formalitas, dan prosedur organisasi karena disiplin dianggap sebagai tekanan hidup. Kebanyakan alumni sekolah Teologi tidak dapat mengaplikasikan ilmu yang telah mereka pelajari karena ekspresi system kehidupan yang tidak cocok dengan tuntutan disiplin tiap bidang studi. Perlunya satu kesadaran bahwa ilmu itu hanya dapat diterapkan dengan suatu disiplin kerja dan tanggung jawab yang lebih besar. Pelayanan Konseling tanpa disiplin ditandai:
     Ø  Hastiness (Mau cepat selesai)
     Ø  Diagnosa dan analisa yang berdasarkan intuisi semata-mata
     Ø  Menjadi ilah bagi Konselinya

2. Membuat dirinya selalu mau dipakai (Availabity), hal ini seharusnya menjadi hal yang positif dan menguntungkan pelayanan Konselinya. Tetapi bentuk ini seringkali dijadikan sebagai alasan untuk menolak.

a. Percakapan Obrolan, kunjungan adalah salah satu bentuk tradisional yang sangat penting untuk membangun hubungan baik dan membuka kesempatan Konseling. Tetapi kesempatan ini banyak disalah gunakan untuk kebutuhan pribadinya diluar makna penggembalaan.
b. Rangsangan atas kebutuhan neurotic si Konseli, kecenderungan narcisstic adalah availabity dalam pelayanan Konseling pada jemaatnya. Hamba Tuhan sengaja menciptakan suasana mutual manipulation (saling manipulasi) dengan Konseli. Berikut sikap Konseli yang mau memanipulasi Konselornya:
        i.      Orang yang datang untuk menjebak atau menjatuhkan
        ii.      Datang untuk memonopoli Konselor bagi kepentingannya sendiri
        iii.      Orang yang datang pada Konselor tapi tanpa kebutuhan akan nasihatnya
        iv.      Orang yang memang senang mempermainkan dan mempersulit Konselor


C.    Suasana Percakapan Konseling yang Ideal
Perbedaan kita dengan Konselor Sekuler adalah pelayanan ini dapat disebut berhasil bila Konseli punya kemauan, tekadm dan keberanian untuk mencapai kepenuhan hidup Kristen. Tujuan utama Pastoral-Konseling adalah kehidupan yang berkelimpahan dalam Yesus Kristus atau menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ada 5 unsur untuk mencapai tujuan tersebut, yang disebut urutan sequential:
a)      Kemauan, tekad dan keberanian Konseli untuk mencapai tujuan kehidupan yang sebenarnya yaitu kehidupan yang berkelimpahan dalam Kristus
b)      Bimbingan yang tepat dari Konselor
c)      Diagnosa dan  analisa yang tepat pada pokok persoalannya
d)     Keterbukaan dan kebebasan untuk mengekspresikan perasaan dan persoalannya
e)      Suasana percakapan Konseling yang ideal
Sikap paling penting untuk menciptakan suasana percakapan yang ideal adalah Understanding yaitu sikap penuh pengertian dari pihak Konselor.


Apakah yang Dimaksudkan dengan Understanding?
            Menurut Wayne Oates hal ini berarti sikap positif dan terencana dari Konselor yang diekspresikan melalui pemberian kesempatan seluas-luasnya pada Konseli untuk mengekspresikannya dirinya secara tepat. Dimana Konselor harus mengosongkan diri, lahir dari rasa belas kasihan yang mendalam. Tetapi tidak boleh mengorbankan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan dan membenarkan dosa-dosa Konseli, melainkan menanti saat yang tepat untuk mengkonfrontir Konseli dengan kebenaran firman Tuhan. Oleh karena itu, Understanding dan Confrontation merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan dan secara terus menerus bekerja sama selama proses Konseling.

Bagaimana Cara Mempraktikan Understanding?

     1.      Empathy
Yaitu sikap positif Konselor terhadap Konseli yang diekspresikan melalui kesediaanya untuk menempatkan diri pada tempat Konseli, merasakan apa yang dirasakan Konseli, dan mengerti dengan pengertian Konseli. Empati bukanlah hal yang mudah sekalipun sudah mengikuti training, tetapi harus keluar dari belas kasihan yang diekspresikan dalam kerinduan menyelami dan mengerti Konseli. Ada tiga kecenderungan yang menghambat empati:
·  Pikiran terikat pada teori dan teknik Konseling yang akan dipakai
·  Terlalu cepat memikirkan pemecahan persoalan Konseli
· Kecemasan yang mematikan kepekaan terhadap perasaannya sendiri maupun perasaan Konseli

     2.      Acceptance
Yaitu kesediaan Konselor menerima keberadaan Konselinya sebagaimana adanya. Sikap positif yang terencana yang sengaja dikembangkan dan dipraktikan oleh karena sebagai Konselor sadar bahwa mungkin hanya melalui cara ini untuk menemukan inti persoalan. Maka Konselor harus menyadari:
· Setiap Konseli datang kepadanya setelah merasa betul-betul terganggu dengan persoalan hidupnya.
·  Setiap pengalaman masuk ke dalam alam bawah sadar oleh karena mekanisme pertahanan yang bentuknya menekan untuk coba melupakan.
· Setiap orang memiliki subjektivitas (empiris) dalam menilai sumber-sumber kecemasan dan hal-hal apa yang mempengaruhi perasaannya.
· Perasaan aman inilah yang harus sengaja diciptakan Konselor dalam diri Konseli melalui acceptance yang sejati.
Hal ini memberi peluang kepada Konselor untuk mendorong Konseli melakukan tindakan dan langkah-langkah konkret tanpa menunggu sampai inti persoalannya ditemukan. Faktanya sebagian besar dari Konseli dengan  sendirinya  mampu menghadapi realita kehidupan, mengambil keputusan, dan memikul tanggung jawab bahkan melakukan tindakan konkret setelah menemukan kepercayaan diri melalui percakapan dengan Konselor yang mempraktikan acceptance sejati.

      3.      Listening
Yaitu unsur utama dari understanding, sebagai syarat utama untuk Konselor tidak mungkin dimiliki oleh hamba Tuhan yang punya kecenderungan narcissistic. Listening bukanlah sekedar teknik Konseling yang perlu dipelajari dan dilatih, karena harus itu Konselor harus mengenal dengan benar-benar bahwa:
a. Kemampuan dan teknik Konseling yang sengaja dipakai oleh Konselor oleh karena kesadaran bahwa mungkin hanya melalui cara ini Konseli mendapat kesempatan mengekspresikan apa yang seharusnya ia ekspresikan.
b.      Tidak sama dengan sikap berdiam diri selama Konseli berbicara (tanpa mendengarkan kelanjutan ceritanya) memikirkan advis apa yang akan diberikan
c.       Pemakaian sensitivitas yang tinggi secara disiplin dengan maksud menangkap baik kata-kata yang diucapkan Konseli maupun perasaan di balik kata-kata, ekspresi wajah dan tingkah
a.       Kesadaran dan sensitivitas terhadap sikapnya sendiri sebagai Konselor selama listening berlaku
b.      Kemampuan untuk menangkap inti kata-kata yang diucapkan Konseli secara objektif
c.       Kemampuan menahan diri dari dorongan untuk berkata-kata lebih banyak pada Konseli atau memberikan kata-kata sebelum waktunya.

Responding secara efektif adalah sikap yang sangat penting dari Konselor yang seharusnya tidak merusak bahkan ikut menciptakan suasana percakapan Konseling yang kondusif. Bagaimana responding dapat menciptakan kondusif atmosfer?
.       Warmth (kehangatan)
.      Support (dukungan)
.       Genuineness (kemurnian sikap konselor)\
     a.       Persiapan yang matang untuk setiap session
      b.      Sambutan yang hangat dari Konselor terhadap Konseli
      c.       Tahu menyimpan rahasia jabatan
      d.  Dirasakan oleh Konseli bahwa Konselor betul-betul hadir dalam setiap pergumulan
.      Menstimulir (Stimulating)


D.    Mencapai Tujuan Hidupnya dalam Tanggung Jawab pada Tuhan
Pelayanan Konseling seorang hamba Tuhan tidak berakhir dengan si Konseli merasa persoalannya sudah selesai dan teratasi. Memang secara formal Konseling boleh berakhir tetapi sebenarnya dalam konteks penggembalaan hubungan Konselor dan Konseli itu tidak pernah berakhir

Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya kepada Tuhan
1.      Melihat tujuan hidupnya secara Kristen
2.  Melihat Alkitab sebagai standar kebenaran yang mutlak untuk menilai tingkah laku dan kebutuhannya
3.     Memakai sarana jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam mencapai tujuan yang benar itu
4.      Melihat tujuan hidupnya secara realistis
5.      Mencapai tujuan hidupnya yang dicita-citakan dengan takaran dan kekuatannya sendiri.

                                                                                                                
   
                                                                  Facebook : Ms Ridho
                                                                                    Ridho Putra Mathinuz
                                                                 Email         : ridho2208@gmail.com , atau
                                                                                   ms_ridho46@yahoo.com

  
    Selamat Belajar... :)