Pastoral-Konseling adalah hubungan
timbal balik (interpersonal relationship) antara hamba Tuhan (pendeta,
penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konseli (klien, orang yang minta
bimbingan), dimana Konselor harus membimbing dalam suasana percakapan konseling
yang ideal (conductive atmosphere) sehingga Konseli mampu mengerti apa yang
sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana dia
berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan
tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan hidup itu dengan
kapasitas, kekuatan dan kemampuan yang sudah diberikan Tuhan.
Bila
berdasarkan definisi di atas maka ada 4 aspek yang harus dimengerti oleh
seorang Konselor dalam posisinya sebagai Hamba Tuhan:
A. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara Konselor dengan Konselinya
A. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara Konselor dengan Konselinya
Pastoral-Konseling adalah sebuah
dialogue antara pendeta dengan Konselinya, yang berhadapan sebagai dua pribadi
yang utuh, dalam arti setiap pihak berhak mengekspresikan dirinya. Hubungan
timbal balik ini harus merupakan suatu dialogue, karena yang pertama role (peran) seorang Konselor tidak sama
dengan role seorang Pengkhotbah. Penulis
mengatakan bahwa role seorang
Pengkhotbah cenderung kepada role Nabi
yang memberitakan firman Tuhan. Secara praktis, kedudukan itu membuat setiap
perkataannya diterima sebagai firman Tuhan sendiri yang tidak bisa dibantah.
Jemaat adalah penerima khotbahnya dengan kepercayaan bahwa itulah yang
dibutuhkan mereka. Penulis lebih setuju bila role seorang Konselor lebih cenderung kepada Imam dengan landasan
Filipi 2:5-8, sedangkan menurut saya role
seorang Konselor lebih cenderung kepada orang bijaksana dengan landasan
Yeremia 18 : 18; seorang Imam memiliki role
yang hampir sama dengan seorang Nabi, mereka adalah mediator Allah yang
memiliki otoritas tertinggi sehingga mustahil dibantah. Sedangkan orang
bijaksana adalah tempat mencari hikmat ilahi, tetapi perkataan mereka tidak
harus dituruti “mentah-mentah” (co: Daniel, Yusuf, dsb), tetapi Konseli dapat
setuju ataupun tidak. Kedua, suasana percakapan yang ideal (conductive
atmospehere) terwujud ketika Konseli merasa dihargai secara keseluruhan.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Konselor dalam hubungan timbal balik:
1. Sikap
Merugikan dari Pihak Konseli
Dalam
hubungan interpersonal relationship, Konselor harus menyadari adanya berbagai
kemungkinan yang merugikan yang ditimbulkan oleh Konseli terhadap Konselornya.
Yang pertama, simbol Allah yang melekat pada hamba Tuhan. Kedua, gejala transference dalam setiap interpersonal
relationship antara dua pribadi.
2. Dorongan
yang Merugikan dari dalam Diri Konselor Sendiri
Konselor
juga harus waspada akan dorongan/rangsangan yang timbul dari dirinya sendiri,
yang dapat menjadi penyebab kegagalan pelayanan Konselingnya. Pertama,
kebutuhan untuk melakukan counter-transference
, ada 12 wujud dari hal yang ini yang merupakan sikap tidak sehat:
a.
Tidak menepati janji dan semaunya
sendiri dalam memakai waktu yang tersedia
b.
Munculnya perasaan berahi atau
sebaliknya, benci kepada Konseli
c.
Membiarkan sikap dan tingkah laku
yang tidak seharusnya terjadi
d.
Selalu ada keinginan untuk
menyenangkan Konseli
e.
Berdebat
f.
Memihak dalam konflik yang
dihadapi Konseli
g.
Memberikan janji dan jaminan pada
Konseli yang terlalu dini tentang kesuksesan kelanjutan pembimbingan
h.
Terbayang-bayang wajah Konseli
i.
Merasa bahwa hidup dan
penyelesaian persoalan seluruhnya tergantung pada kita
j.
Sikap membedakan dari anggota
yang satu dengan yang lain dalam gereja yang kita gembalakan
k. Membuat
janji pertemuan yang tidak biasa dengan Konseli dan bersikap tidak wajar
Perlu diperhatikan, counter-transference
merupakan sikap yang membahayakan dalam Konseling. Hamba Tuhan harus menyadari
bahwa dia bukan Psikiater ataupun Psychoanalist yang memang terlatih untuk
memakainya dengan tujuan terapi, maka counter-transference tidak boleh
dilakukan dengan tujuan apapun juga. Karena gejala transference dari Konseli pasti
terjadi, maka itu adalah tanggung jawab Konselor.
Konselor harus mengenal benar gejala
transference dan memakai role nya
untuk menolong Konseli. Lalu menyadarkan Konseli tentang apa yang sedang
terjadi dengan dirinya dan menyadari unsur-unsur yang tidak realistis yang
mempengaruhi perasaan dan tingkah lakunya pada saat itu. Dan menolong Konseli
untuk menemukan identitasnya dalam tanggung jawabnya kepada Tuhan lalu
mendorongnya untuk mengambil suatu keputusan etis yang rasional. Pada akhirnya
keputusan ada di tangan Konseli, role kita
hanya sebagai pemberi opsi dan penuntun agar ia dapat mengambil opsi yang
terbaik bagi dirinya. Hal kedua yang harus diwaspadai oleh seorang Konselor
adalah menikmati simbol Allah yang ada padanya.
B. Hamba Tuhan Sebagai Konselor
Kita
harus sepakat bahwa Pelayanan Konseling adalah bagian integral dari Pelayanan
hamba Tuhan, artinya identitasnya akan tidak lengkap bila ia tidak melakukan
bidang Pelayanan ini. Tapi hal ini tidak mengindikasikan bahwa setiap hamba
Tuhan dapat melakukan Pelayanan ini dengan baik dan benar, mereka harus
mengembangkan disiplin dan skill dalam hal tersebut.
1. Kecenderungan ke Arah
Professionalisme
Penulis mendorong setiap hamba Tuhan
untuk mengembangkan dirinya dengan belajar tentang Pastoral-Konseling akan
tetapi tidak setuju ketika seseorang menjadi spesialisasi dalam hal ini. Karena
hubungan Konselor dengan Konseli bukanlah hubungan professional melainkan
fungsional, sebab peranan dan panggilannya dalam konseling hanya bagian dari
integral dari keseluruhan role dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Seorang
hamba Tuhan seharusnya mengembangkan disiplin dan kemampuan bukan untuk menjadi
professional counselor tetapi hamba
Tuhan yang terampil dalam pelayan Konseling, ditandai oleh:
1. Adanya
pengetahuan yang cukup tentang teori-teori personality dan psikologi pada
umumnya
2. Adanya
kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktik khususnya teori-teori tentang
metode-metode dan observasi dan diagnosa
3. Adanya
training yang cukup di bawah bimbingan dan supervise seorang professional
4. Adanya
kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba Tuhan dalam peranannya
sebagai Konselor dalam interpersonal relationship nya dengan Konseli
5. Adanya
kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang tersedia untuk
mensukseskan pelayanan Konselingnya
6. Adanya
pengertian yang benar tentang scoop pertanggung jawabannya sebagai Konselor
7. Adanya
disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan Konseling dalam batasan
profesinya sebagai hamba Tuhan, antara lain:
a.
Penyusunan data-data dan
penyimpanan catatan dalam sistem file yang rapih dan aman
b. Membedakan dengan jelas antara
short-term dan long-term Konseling, juga antara Konseling secara informal
maupun pelayanan formal.
c.
Tersedianya kantor atau ruang
Konseling yang tidak terganggu
d.
Tersediannya referrals yang dapat
dihubungi setiap saat
e. Tidak mencoba melakukan diagnosa
medis, psycho test, eksperimen, pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang
menjadi wewenang professional lain
f. Tahu
bagaimana menjernihkan perbedaan antara free gift dan pembayaran yang diberikan
oleh Konselinya
2. Kecenderungan untuk Melakukan Pelayanan Konseling Tanpa Tanggung Jawab
2. Kecenderungan untuk Melakukan Pelayanan Konseling Tanpa Tanggung Jawab
Kemungkinan yang kedua penyebab
kegagalan hamba Tuhan adalah kemunafikan (sikap tidak jujur terhadap diri
sendiri) dan ketidaksediaan memikul tanggung jawab. Seorang hamba Tuhan
seharusnya menyerahkan diri dalam kepatuhan total pada Allah Bapa-Nya dalam
pelayanan-Nya.
-Pastoral Konseling adalah pelayanan Konseling yang unik karena berbeda dengan Konseling sekuler.
-Pastoral Konseling adalah pelayanan yang berat karena seluruh tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Tuhan disatukan. Oleh karena itu, tidak heran bila banyak hamba Tuhan memilih tidak mengambil pelayanan ini, dan diekspresikan dalam sikap-sikap negatif seperti:
-Pastoral Konseling adalah pelayanan Konseling yang unik karena berbeda dengan Konseling sekuler.
-Pastoral Konseling adalah pelayanan yang berat karena seluruh tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Tuhan disatukan. Oleh karena itu, tidak heran bila banyak hamba Tuhan memilih tidak mengambil pelayanan ini, dan diekspresikan dalam sikap-sikap negatif seperti:
I. 3. idak
jujur terhadap diri sendiri.
Sikap
yang merugikan ini umumnya timbul karena:
a) Ketidaksediaan memikul beban pelayanan lebih daripada apa yang ia sukai
Seringkali hamba Tuhan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil multiple role, karena ia harus bisa menangani seluruh kegiatan gereja, tetapi hal ini rupanya memicu timbulnya sikap yang membahayakan :
· Menikmati rutinitas.
· Merasa sudah berfungsi.
· Menikmati ketergantungan (dependency) dari seluruh gereja itu padanya.Dengan sikap seperti itu hamba Tuhan umumnya akan menolak tanggung jawab dalam tugas pelayanan Konseling, karena dianggap tambahan dari pelayan lain yang lebih serius.
b) Ketakutan pada keakraban
Setiap hamba Tuhan seharusnya memiliki interpersonal relationship yang akrab dengan setiap dombanya, karena pengalaman pribadi sebagai orang percaya merupakan unsur terpenting di dalam keberhasilan Konseling (hal yang tidak dikenal dalam Konseling sekuler). Kebutuhan ini sifatnya sangat fundamental menurut para ahli, bahkan dalam Mat 23:39 hal ini disinggung sebagai hukum yang utama. Rupanya hal ini merupakan gejala kejiwaan yang ditimbulkan dari kegagalan seseorang melewati fase penemuan identitas pribadinya pada masa remaja. Gejala ini dapat menyebabkan kegagalan yang fatal dalam pelayanan Konseling, maka dari ini ada beberapa gejala keterasingan yang harus diwaspadai.
· Ketidakmatangan emosi (emotional immaturity)
· Miskin dalam Kasih (lack of compassion)
· Takut dirugikan dan dikecewakan (fear of being hurt)
· Perasaan rendah diri (low self-esteem)
· Perasaan bersalah yang berlebihan (guilt feeling)
Konselor biasanya sadar akan gejala-gejala di atas, tetapi untuk mengatasinya mereka membangun suatu bentuk “keakraban semu” (pseudo intimacy) sebagai gantinya. Misalnya dalam bentuk:
· Keramahtamahan dan basa-basi
· Ringan tangan dan ringan kaki
Gejala-gejala kejiwaan ini akan merugikan hamba Tuhan tersebut karena cenderung melakukan pelayanan Konseling seperti mesin. Padahal ini adalah suatu pelayanan dan bukan suatu pekerjaan biasa, maka perlu menempatkan dirinya sebagai satu pribadi dalam hubungan dengan Konseli.
4. ikap menolak tanggung jawab
Hamba Tuhan yang mengerti bahwa Pastoral-Konseling adalah pelayanan yang pasti harus ia lakukan tetapi mencoba menghindar akan berkata, bahwa Konseling tidak perlu aspek Psikologi karena orang yang kenal firman Tuhan pasti dapat melayani dengan baik atau menekankan salah satu bidang yang disukainya saja. Keterpaksaan seperti itu akan membuat Konselor memilih bentuk yang tidak sehat, seperti:
1. Informalitas (Informality), bentuk atau model pelayanan Konseling yang popular di Indonesia. Bekerja tanpa rencana, jam kantor, formalitas, dan prosedur organisasi karena disiplin dianggap sebagai tekanan hidup. Kebanyakan alumni sekolah Teologi tidak dapat mengaplikasikan ilmu yang telah mereka pelajari karena ekspresi system kehidupan yang tidak cocok dengan tuntutan disiplin tiap bidang studi. Perlunya satu kesadaran bahwa ilmu itu hanya dapat diterapkan dengan suatu disiplin kerja dan tanggung jawab yang lebih besar. Pelayanan Konseling tanpa disiplin ditandai:
Ø Hastiness (Mau cepat selesai)
Ø Diagnosa dan analisa yang berdasarkan intuisi semata-mata
Ø Menjadi ilah bagi Konselinya
2. Membuat dirinya selalu mau dipakai (Availabity), hal ini seharusnya menjadi hal yang positif dan menguntungkan pelayanan Konselinya. Tetapi bentuk ini seringkali dijadikan sebagai alasan untuk menolak.
a. Percakapan Obrolan, kunjungan adalah salah satu bentuk tradisional yang sangat penting untuk membangun hubungan baik dan membuka kesempatan Konseling. Tetapi kesempatan ini banyak disalah gunakan untuk kebutuhan pribadinya diluar makna penggembalaan.
b. Rangsangan atas kebutuhan neurotic si Konseli, kecenderungan narcisstic adalah availabity dalam pelayanan Konseling pada jemaatnya. Hamba Tuhan sengaja menciptakan suasana mutual manipulation (saling manipulasi) dengan Konseli. Berikut sikap Konseli yang mau memanipulasi Konselornya:
i. Orang yang datang untuk menjebak atau menjatuhkan
ii. Datang untuk memonopoli Konselor bagi kepentingannya sendiri
iii. Orang yang datang pada Konselor tapi tanpa kebutuhan akan nasihatnya
iv. Orang yang memang senang mempermainkan dan mempersulit Konselor
a) Ketidaksediaan memikul beban pelayanan lebih daripada apa yang ia sukai
Seringkali hamba Tuhan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil multiple role, karena ia harus bisa menangani seluruh kegiatan gereja, tetapi hal ini rupanya memicu timbulnya sikap yang membahayakan :
· Menikmati rutinitas.
· Merasa sudah berfungsi.
· Menikmati ketergantungan (dependency) dari seluruh gereja itu padanya.Dengan sikap seperti itu hamba Tuhan umumnya akan menolak tanggung jawab dalam tugas pelayanan Konseling, karena dianggap tambahan dari pelayan lain yang lebih serius.
b) Ketakutan pada keakraban
Setiap hamba Tuhan seharusnya memiliki interpersonal relationship yang akrab dengan setiap dombanya, karena pengalaman pribadi sebagai orang percaya merupakan unsur terpenting di dalam keberhasilan Konseling (hal yang tidak dikenal dalam Konseling sekuler). Kebutuhan ini sifatnya sangat fundamental menurut para ahli, bahkan dalam Mat 23:39 hal ini disinggung sebagai hukum yang utama. Rupanya hal ini merupakan gejala kejiwaan yang ditimbulkan dari kegagalan seseorang melewati fase penemuan identitas pribadinya pada masa remaja. Gejala ini dapat menyebabkan kegagalan yang fatal dalam pelayanan Konseling, maka dari ini ada beberapa gejala keterasingan yang harus diwaspadai.
· Ketidakmatangan emosi (emotional immaturity)
· Miskin dalam Kasih (lack of compassion)
· Takut dirugikan dan dikecewakan (fear of being hurt)
· Perasaan rendah diri (low self-esteem)
· Perasaan bersalah yang berlebihan (guilt feeling)
Konselor biasanya sadar akan gejala-gejala di atas, tetapi untuk mengatasinya mereka membangun suatu bentuk “keakraban semu” (pseudo intimacy) sebagai gantinya. Misalnya dalam bentuk:
· Keramahtamahan dan basa-basi
· Ringan tangan dan ringan kaki
Gejala-gejala kejiwaan ini akan merugikan hamba Tuhan tersebut karena cenderung melakukan pelayanan Konseling seperti mesin. Padahal ini adalah suatu pelayanan dan bukan suatu pekerjaan biasa, maka perlu menempatkan dirinya sebagai satu pribadi dalam hubungan dengan Konseli.
4. ikap menolak tanggung jawab
Hamba Tuhan yang mengerti bahwa Pastoral-Konseling adalah pelayanan yang pasti harus ia lakukan tetapi mencoba menghindar akan berkata, bahwa Konseling tidak perlu aspek Psikologi karena orang yang kenal firman Tuhan pasti dapat melayani dengan baik atau menekankan salah satu bidang yang disukainya saja. Keterpaksaan seperti itu akan membuat Konselor memilih bentuk yang tidak sehat, seperti:
1. Informalitas (Informality), bentuk atau model pelayanan Konseling yang popular di Indonesia. Bekerja tanpa rencana, jam kantor, formalitas, dan prosedur organisasi karena disiplin dianggap sebagai tekanan hidup. Kebanyakan alumni sekolah Teologi tidak dapat mengaplikasikan ilmu yang telah mereka pelajari karena ekspresi system kehidupan yang tidak cocok dengan tuntutan disiplin tiap bidang studi. Perlunya satu kesadaran bahwa ilmu itu hanya dapat diterapkan dengan suatu disiplin kerja dan tanggung jawab yang lebih besar. Pelayanan Konseling tanpa disiplin ditandai:
Ø Hastiness (Mau cepat selesai)
Ø Diagnosa dan analisa yang berdasarkan intuisi semata-mata
Ø Menjadi ilah bagi Konselinya
2. Membuat dirinya selalu mau dipakai (Availabity), hal ini seharusnya menjadi hal yang positif dan menguntungkan pelayanan Konselinya. Tetapi bentuk ini seringkali dijadikan sebagai alasan untuk menolak.
a. Percakapan Obrolan, kunjungan adalah salah satu bentuk tradisional yang sangat penting untuk membangun hubungan baik dan membuka kesempatan Konseling. Tetapi kesempatan ini banyak disalah gunakan untuk kebutuhan pribadinya diluar makna penggembalaan.
b. Rangsangan atas kebutuhan neurotic si Konseli, kecenderungan narcisstic adalah availabity dalam pelayanan Konseling pada jemaatnya. Hamba Tuhan sengaja menciptakan suasana mutual manipulation (saling manipulasi) dengan Konseli. Berikut sikap Konseli yang mau memanipulasi Konselornya:
i. Orang yang datang untuk menjebak atau menjatuhkan
ii. Datang untuk memonopoli Konselor bagi kepentingannya sendiri
iii. Orang yang datang pada Konselor tapi tanpa kebutuhan akan nasihatnya
iv. Orang yang memang senang mempermainkan dan mempersulit Konselor
C.
Suasana
Percakapan Konseling yang Ideal
Perbedaan
kita dengan Konselor Sekuler adalah pelayanan ini dapat disebut berhasil bila
Konseli punya kemauan, tekadm dan keberanian untuk mencapai kepenuhan hidup
Kristen. Tujuan utama Pastoral-Konseling adalah kehidupan yang berkelimpahan
dalam Yesus Kristus atau menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Ada 5 unsur untuk mencapai tujuan tersebut, yang disebut urutan sequential:
a) Kemauan,
tekad dan keberanian Konseli untuk mencapai tujuan kehidupan yang sebenarnya
yaitu kehidupan yang berkelimpahan dalam Kristus
b) Bimbingan
yang tepat dari Konselor
c) Diagnosa
dan analisa yang tepat pada pokok
persoalannya
d) Keterbukaan
dan kebebasan untuk mengekspresikan perasaan dan persoalannya
e) Suasana
percakapan Konseling yang ideal
Sikap paling
penting untuk menciptakan suasana percakapan yang ideal adalah Understanding yaitu sikap penuh
pengertian dari pihak Konselor.
Apakah yang Dimaksudkan dengan Understanding?
Menurut Wayne Oates hal ini berarti
sikap positif dan terencana dari Konselor yang diekspresikan melalui pemberian
kesempatan seluas-luasnya pada Konseli untuk mengekspresikannya dirinya secara
tepat. Dimana Konselor harus mengosongkan diri, lahir dari rasa belas kasihan
yang mendalam. Tetapi tidak boleh mengorbankan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan
dan membenarkan dosa-dosa Konseli, melainkan menanti saat yang tepat untuk
mengkonfrontir Konseli dengan kebenaran firman Tuhan. Oleh karena itu, Understanding dan Confrontation merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan dan secara
terus menerus bekerja sama selama proses Konseling.
Bagaimana Cara Mempraktikan Understanding?
1.
Empathy
Yaitu
sikap positif Konselor terhadap Konseli yang diekspresikan melalui kesediaanya
untuk menempatkan diri pada tempat Konseli, merasakan apa yang dirasakan
Konseli, dan mengerti dengan pengertian Konseli. Empati bukanlah hal yang mudah
sekalipun sudah mengikuti training, tetapi harus keluar dari belas kasihan yang
diekspresikan dalam kerinduan menyelami dan mengerti Konseli. Ada tiga
kecenderungan yang menghambat empati:
· Pikiran terikat pada teori dan teknik Konseling yang akan dipakai
· Terlalu cepat memikirkan pemecahan persoalan Konseli
· Kecemasan yang mematikan kepekaan terhadap perasaannya sendiri maupun perasaan Konseli
· Pikiran terikat pada teori dan teknik Konseling yang akan dipakai
· Terlalu cepat memikirkan pemecahan persoalan Konseli
· Kecemasan yang mematikan kepekaan terhadap perasaannya sendiri maupun perasaan Konseli
2.
Acceptance
Yaitu
kesediaan Konselor menerima keberadaan Konselinya sebagaimana adanya. Sikap
positif yang terencana yang sengaja dikembangkan dan dipraktikan oleh karena
sebagai Konselor sadar bahwa mungkin hanya melalui cara ini untuk menemukan
inti persoalan. Maka Konselor harus menyadari:
· Setiap Konseli datang kepadanya setelah merasa betul-betul terganggu dengan persoalan hidupnya.
· Setiap pengalaman masuk ke dalam alam bawah sadar oleh karena mekanisme pertahanan yang bentuknya menekan untuk coba melupakan.
· Setiap orang memiliki subjektivitas (empiris) dalam menilai sumber-sumber kecemasan dan hal-hal apa yang mempengaruhi perasaannya.
· Perasaan aman inilah yang harus sengaja diciptakan Konselor dalam diri Konseli melalui acceptance yang sejati.
Hal ini memberi peluang kepada Konselor untuk mendorong Konseli melakukan tindakan dan langkah-langkah konkret tanpa menunggu sampai inti persoalannya ditemukan. Faktanya sebagian besar dari Konseli dengan sendirinya mampu menghadapi realita kehidupan, mengambil keputusan, dan memikul tanggung jawab bahkan melakukan tindakan konkret setelah menemukan kepercayaan diri melalui percakapan dengan Konselor yang mempraktikan acceptance sejati.
· Setiap Konseli datang kepadanya setelah merasa betul-betul terganggu dengan persoalan hidupnya.
· Setiap pengalaman masuk ke dalam alam bawah sadar oleh karena mekanisme pertahanan yang bentuknya menekan untuk coba melupakan.
· Setiap orang memiliki subjektivitas (empiris) dalam menilai sumber-sumber kecemasan dan hal-hal apa yang mempengaruhi perasaannya.
· Perasaan aman inilah yang harus sengaja diciptakan Konselor dalam diri Konseli melalui acceptance yang sejati.
Hal ini memberi peluang kepada Konselor untuk mendorong Konseli melakukan tindakan dan langkah-langkah konkret tanpa menunggu sampai inti persoalannya ditemukan. Faktanya sebagian besar dari Konseli dengan sendirinya mampu menghadapi realita kehidupan, mengambil keputusan, dan memikul tanggung jawab bahkan melakukan tindakan konkret setelah menemukan kepercayaan diri melalui percakapan dengan Konselor yang mempraktikan acceptance sejati.
3.
Listening
Yaitu
unsur utama dari understanding,
sebagai syarat utama untuk Konselor tidak mungkin dimiliki oleh hamba Tuhan
yang punya kecenderungan narcissistic.
Listening bukanlah sekedar teknik Konseling yang perlu dipelajari dan
dilatih, karena harus itu Konselor harus mengenal dengan benar-benar bahwa:
a. Kemampuan dan teknik Konseling yang sengaja dipakai oleh Konselor oleh karena kesadaran bahwa mungkin hanya melalui cara ini Konseli mendapat kesempatan mengekspresikan apa yang seharusnya ia ekspresikan.
b. Tidak sama dengan sikap berdiam diri selama Konseli berbicara (tanpa mendengarkan kelanjutan ceritanya) memikirkan advis apa yang akan diberikan
c. Pemakaian sensitivitas yang tinggi secara disiplin dengan maksud menangkap baik kata-kata yang diucapkan Konseli maupun perasaan di balik kata-kata, ekspresi wajah dan tingkah
a. Kemampuan dan teknik Konseling yang sengaja dipakai oleh Konselor oleh karena kesadaran bahwa mungkin hanya melalui cara ini Konseli mendapat kesempatan mengekspresikan apa yang seharusnya ia ekspresikan.
b. Tidak sama dengan sikap berdiam diri selama Konseli berbicara (tanpa mendengarkan kelanjutan ceritanya) memikirkan advis apa yang akan diberikan
c. Pemakaian sensitivitas yang tinggi secara disiplin dengan maksud menangkap baik kata-kata yang diucapkan Konseli maupun perasaan di balik kata-kata, ekspresi wajah dan tingkah
a. Kesadaran
dan sensitivitas terhadap sikapnya sendiri sebagai Konselor selama listening berlaku
b. Kemampuan
untuk menangkap inti kata-kata yang diucapkan Konseli secara objektif
c. Kemampuan
menahan diri dari dorongan untuk berkata-kata lebih banyak pada Konseli atau
memberikan kata-kata sebelum waktunya.
Responding secara efektif
adalah sikap yang sangat penting dari Konselor yang seharusnya tidak merusak
bahkan ikut menciptakan suasana percakapan Konseling yang kondusif. Bagaimana
responding dapat menciptakan kondusif atmosfer?
. Warmth (kehangatan)
. Support (dukungan)
. Genuineness (kemurnian sikap konselor)\
a. Persiapan yang matang untuk setiap session
b. Sambutan yang hangat dari Konselor terhadap Konseli
c. Tahu menyimpan rahasia jabatan
d. Dirasakan oleh Konseli bahwa Konselor betul-betul hadir dalam setiap pergumulan
. Menstimulir (Stimulating)
. Warmth (kehangatan)
. Support (dukungan)
. Genuineness (kemurnian sikap konselor)\
a. Persiapan yang matang untuk setiap session
b. Sambutan yang hangat dari Konselor terhadap Konseli
c. Tahu menyimpan rahasia jabatan
d. Dirasakan oleh Konseli bahwa Konselor betul-betul hadir dalam setiap pergumulan
. Menstimulir (Stimulating)
D.
Mencapai
Tujuan Hidupnya dalam Tanggung Jawab pada Tuhan
Pelayanan
Konseling seorang hamba Tuhan tidak berakhir dengan si Konseli merasa
persoalannya sudah selesai dan teratasi. Memang secara formal Konseling boleh
berakhir tetapi sebenarnya dalam konteks penggembalaan hubungan Konselor dan
Konseli itu tidak pernah berakhir
Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung
jawabnya kepada Tuhan
1.
Melihat tujuan hidupnya secara
Kristen
2. Melihat
Alkitab sebagai standar kebenaran yang mutlak untuk menilai tingkah laku dan
kebutuhannya
3. Memakai
sarana jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam mencapai tujuan yang benar
itu
4. Melihat
tujuan hidupnya secara realistis
5.
Mencapai tujuan hidupnya yang
dicita-citakan dengan takaran dan kekuatannya sendiri.
Selamat Belajar... :)
Facebook : Ms Ridho
Ridho Putra Mathinuz
Email : ridho2208@gmail.com , atau
ms_ridho46@yahoo.com
Selamat Belajar... :)