Jumat, 13 Juni 2014

Melihat Inklusif dari Perspektif Ekslusif



Pertentangan pemikiran yang terjadi di dalam pemikiran zaman sekarang, bukanlah hal yang baru. Aroma tersebut bukan  baru tercium saat ini, bukan hanya terjadi zaman sekarang melainkan sudah berlangsung dari zaman ke zaman.
Salah satu masa yang sangat menimbulkan masalah sekaligus menyelesaikan banyak persoalan terutama persoalan etis. Pertengan pemikiran yang terjadi, melahirkan suatu perdebatan antara kaum agamis dan rasionalis, bahkan sikap saling tuduh-menuduh terjadi di antara kedua golongan tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa tak hanya hal negative yang terjadi dari era kebangkitan rasionalisme atau zaman perncerahan, banyak hal positif yang merupakan akibat dari gerakan ini. Juga tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal negative, dimana persoalan agama di campuradukan dengan persoalan ilmu pengetahuan, tanpa bisa membedakan mana yang persoalan ilmu pengetahuan dan mana persoalan agama, persoalan rasio dan iman.
Tak bisa dipungkiran bahwa sejak awal, dalam bahasa penulis bahwa agama (iman) tidak bertemu dengan ilmu pengetahuan, karena ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh agama kepada ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan juga tidak bisa mengklaim bahwa ini salah dan itu salah, dan sebaliknya.
Harus diakui bahwa Ada hal-hal yang bisa diterima oleh agama yang dalam pandangan ilmu pengethuan meruapakan hal yang benar, tetapi dalam agama merupakan hal yang salah. Dan kedua pandangan ini masih berlangsung sampai saat ini. Banyak sekali orang-orang yang berwajahkan agama tetapi dasar pemikiran rasionalisme. Dimana banyak orang meng-Tuhan-kan rasio, rasiolah yang menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Juga terjadi hal yang sama dimana berwajahkan rasio tetapi bertubuhkan agama. Bahkan tak sedikit juga memelihara kedua-duanya. Hal yang demikian menjadi persoalan yang membingungkan.
Persoalan seperti yang di atas juga terjadi dalam agama. Masing-masing agama mempunyai keyakinan yang berbeda-beda dan masing-masingnya saling mengklaim bahwa agama ini salah dan agama itu salah. Bahkan sudah terjadi banyak hal negative yang terjadi akibat dari sikap saling mengklaim tersebut. Bahkan agama tidak bisa duduk bersama dalam menyelesaikan konflik kemanusiaan. Karena persoalan yang bersifat dogmatis. Dalam hal dogma pun mengandung banyak perbedaan, yang seharus perbedaan tersebut merupakan suatu keragaman yang membuka mata untuk melihat mana yang baik dan mana yang tidak baik. Keragama seharusnya dijadikan sebagai bahan yang pertimbangan dalam perenungan. Bukan menjadi sebuah persoalan yang memecah-belah yang mengacaukan kedamaian di antara manusia.
Kerukunan harus ditunjukkan oleh masing-masing kelompok, sekalipun banyak perbedaan yang terjadi. Memang banyak hal yang harus dikorbankan dalam kepentingan bersama, banyak sekali hal yang harus dikorbankan untuk memelihara kedamaian. Salah satu persoalan yang sulit dihilangkan oleh orang pada umumnya ialah egosentris. Hal ini seharusnya tidak baik untuk kita pertahankan, karena membawa suatu keegoisan tak dapat disadari sebagai hal yang tidak baik, yang merusak kedamaian.



Melihat Inklusif dalam perspektif Eksklusif lebih Jauh

Dalam hal ini teolog berperan penting untuk menciptakan suatu kondisi yang baik, yang bisa mempertemukan dan duduk bersama untuk memelihara kedamaian. Dalam tradisi agama, teologi dipandang sebagai unsur yang paling penting yang mendasari sebuah agama. Tanpa teologi maka agama tidak ada. Karena itu, dapat dipahami bahwa teologi menjadi bidang kajian yang mengtradisi dalam sebuah agama. Oleh karenanya, teolog berperan penting dalam menyelesaikan persoalan dogma. Bukan malah menciptakan kekacauan. Harus mampu membedakan iman dan pengetahuan. Karena tak semua hal tak bisa di jawab dengan akal, juga sebaliknya. Karena iman dan akal seperti dua sisi mata uang, yang saling melengkapi.
Dalam hal ini salh satu pandangan yang menyatakan bahwa pandangan “pemelihara hubungan, kedamaian” juga tak mampu memberikan pengaruh yang signifikan kepada agama. Banyak sekali usaha untuk bagaimana menyatukan berbagai pandangan untuk memelihara hubungan yang baik di antara agama-agama.
Penulis melihat ini merupakan hal yang positif, tetapi penulis melihat berbagai pandangan inklusif yang mencapuradukan persoalan iman dan akal. Penulis beranggapan bahwa dalam pembahasan tentang iman dan akal, harus melatakkan persoalan iman pada posisi masing-masing. karena penulis melihat bahwa dalam hal tertentu iman logika tidak bisa bersatu, dan hal ini sudah berlangsung dari zaman ke zaman.
Penulis dalam hal tertentu inklusif secara implisit mengandung relativisme. Penulis melihat bahwa inklusif adalah hasil dari pemikiran filsafat era post-modern yang anti terhadap segala proposisi, anti terhadap segala ide mengenai kemutlakan dimana filsafat post-modern berpijak diatas dasar relativisme murni, walaupun pada kenyataannya terjebak pada kemutlakan pemikiran manusia secara subyektif, yang mengakibatkan timbulnya epistemology subjectivism, yaitu suatu konsep kebenaran yang menganggap bahwa sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar oleh seseorang/sekelompok orang, dimana pada dasarnya pemikiran tersebut tidak akan meng-intervensi pemikiran orang/kelompok lain yang berbeda pandangan dengan kelompoknya selama tidak terjadi konflik atau bersinggungan dengan kepentingan masing-masing kelompok.
Secara umum berbeda tetapi tetap menjadi satu tujuan yaitu memelihara kedamaian, memelihara keharmonisan serta suatu kerukunan yang ditunjukkan oleh masing-masing kelompok, namun pada dasarnya telah menyimpang dari hakekatnya. Permasalahan di sini ada pada landasan filosofis-nya dimana pendapat subyektif manusia-lah yang menjadi penentu apakah sesuatu hal itu benar atau tidak benar, karena (secara mutlak) tergantung kepada diri manusia itu sendiri. (bdk. Kejatuhan Manusia – Kejadian 3:1-24).

Suatu pertanyaan yang seharusnya timbul adalah: "Apakah manusia yang secara hakekat bersifat relatif dengan pemikiran yang subyektif tersebut dapat menjadi verifikator dari suatu kebenaran?
Konsep kebenaran didalam Iman Kristen dengan tegas sekali menyatakan bahwa sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar oleh Firman Tuhan. Dalam hal keselamatan yang menjadi persoalan utama kaum agamis. Iman Kristen dengan jelas mengatakan;
Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran (alētheia; kebenaran hakiki/sejati) dan hidup (kekal). Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. - Yohanes 14:6 Kristuslah kebenaran hakiki/sejati dan hanya didalam Dia-lah ada kehidupan kekal (keselamatan), diluar Kristus sama sekali tidak ada keselamatan.
Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia(Kristus), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." – Kisah Para Rasul 4:12.
Sifat keselamatan yang eksklusif ini yang menjadi pertentangan orang dunia, karena dunia ini telah jatuh kedalam dosa dan menjadi dunia yang berdosa, sehingga orang dunia lebih senang dengan ide pluralisme yang berdiri diatas paham humanistik dan anti proposisi, daripada ide tentang ke-absolut-an yang menuntut ketaatan yang mutlak (bdk. Mat 16:24), memiliki ketaatan penuh kepada Firman.
        Firman Tuhan dengan eksklusivitas keselamatan diatas telah secara langsung menggugurkan konsep pemikiran pluralisme yang menganggap semua agama adalah “sama” dan sama-sama mengajarkan kebaikan (tidak ada agama yang mengajarkan hal yang tidak baik), akan tetapi konsep perbuatan baik dalam ke-Kristenan adalah respon terhadap Anugerah Allah yang mendahului respon manusia, Allah yang mencari manusia bukan sebaliknya (dengan perbuatan dan amal-ibadah manusia).
Persoalan keselamatan yang bersifat eksklusif berlandaskan pada penerimaan Alkitab sebagai sepenuhnya Firman Allah. Sedangkan penulis melihat, inklusif beranggapan bahwa Firman Alkitab berisikan firman Allah. Di mana sebagian dari isi Alkitab adalah hal fiktif belaka. Dianggap sebagai mitos saja. Dimana gagasan dan pandangan seperti ini bukanlah hal yang baru melainkan pokok pemikiran seprti ini sudaha ada, seperti Rudolf Bultman, yang memandang bahwa Alkitab sebagai mitos. Yang kurang lebih seperti cerita rakyat yang mengandung pesan moral saja.
Penulis melihat bahwa pandangan inklusif seperti manusia yang berbaju iman tetapi bertubuh logika. Inklusif memakai berbagai ayat Alkitab tetapi memahaminya dengan logika murni. Inklusif tidak baik memhami wahyu sebagai seperti memahami tulisan biasa.
Penulis tahu bhawa inklusif pemikiran yang demikian di anggap sesuatu yang sangat tradisional. Namun, penulis melihat bahwa pokok pemikiran dan cara pandang inklusif juga merupakan pokok pemikiran historis kristis, yang pada dasarnya bangkit melawan teologi. Karena dalam masa lalu teologi menjadi penguasa atas ilmu pengetahuan. Tetapi beranggapan bahwa inklusif harus berangkat dari metode dan cara memandang Alkitab dengan caranya sendiri. Tidak seperti orang yang bertubuh kecil yang bersembunyi dibalik jubah, yang kelihatan dirinyalah bahwa itulah dia yang sesungguhnya. Inklusif harus melihat secara objektif bahwa semua persoalan iman tak sepenuhnya dapat dipahami dengan logika, misalnya dalam penerimaan Alkitab sebagai sepenuhnya Firman Allah.
Penulis mengakui banyak kekurangan kekurangan dari pandangan yang berifat eksklusif, banyak yang menimbulkan persoalan bagi sebagian orang. Namun, penulis melihat bahwa persoalan yang timbul bukanlah terletak pada Alkitabnya tetapi cara pandang dan sikap yang esktrim yang dibrengi dengan egosentris. Penulis melihat bahwa ini juga merupakan kemunduran dari para teolog, dan merupakan hal yang perlu dilakukan perbaikan.
Sikap Inklusif secara implisit yang sangat kental sekali dengan relativisme, yang tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan rasionalisme. Walaupun tidak seekstrim paham rasionalisme yang meng-Tuhan-kan akal atau logika.

Penulis melihat bahwa inklusif tidak cermat melihat persoalan dogma. Harus diakui bahwa Alkitab tidak ditulis untuk menjawab semua pertanyaan ilmu pengetahuan. Tidak semua hal yang tidak bisa dijawab tersebut, bukanlah berarti tidak terjadi. Tidak semua yang dianggap mitos, terutama tulisan-tulisan dalam Alkitab. Dan semua anggap yang demikian harus kembali kapada pertanyaan, bagaimana inklusif menerima Alkitab, Apakah Alkitab sepenuhnya Firman Allah atau tidak?
Dalam banyak diskusi, penulis melihat bahwa konsep pemikiran yang demikian merupakan wajah lama, bukan sesuatu yang baru. Dengan bahasa penulis, kemasan baru tetapi isi klasik. Kita tidak bisa mengorban nilai-nilai hakiki dari kekristenan untuk menjalin sebuh hubungan. Apakah Alkitab kurang untuk menjelaskan bagaimana menjalani hubungan dengan individu atau pihak lain?
Penulis melihat Alkitab kurang memberikan informasi bagaimana menjadi manusia yang baik. Yang mampu bersatu dengan individu atau dengan pihak lain. Hanya saja dalam implementasinya manusia kurang memahami dengan baik. Tidak dapat disangkan bahwa sebagian dari pihak Kekristennan dalam membangun relasi dengan agama lain sangat tertutup. Juga terbentur persoalan yang bersifat dogmatis. Namun, penulis melihat permasalahan yang paling besar bukanlah kepada dasar pengajarannya tetapi pada pendekatan dan penerapannya yang masih diperlukan perbaikan. Jangan sampai individu terkontaminsi dengan dasar yang dibangun oleh pemikiran duniawi (Kolose 2:8). John Calvin pernah mengatakan bahwa “biarlah Alkitab membuktikan dirinya adalah Firman Allah”.

 
PENUTUP

Memelihara kerukunan antar sesama pemeluk agama adalah suatu hal yang sangat penting, demikian pula dengan menghargai pendapat ataupun pandangan orang lain, akan tetapi setiap orang Kristen tidak boleh kehilangan identitas dirinya dengan menyama-ratakan semua pandangan kepercayaan, agama dan keyakinan.
Firman Tuhan bersifat mutlak dan merupakan satu-satunya dasar bagi setiap manusia, pemahaman inilah yang seharusnya memberi kita semangat untuk membawa berita Injil, berita keselamatan yang eksklusif didalam Kristus akan tetapi disediakan bagi setiap orang (percaya) tanpa pandang suku, bangsa, ras, golongan atau latar-belakang apa pun juga.
Orang Kristen tidak boleh bersembunyi dibalik balik juba orang lain, orang Kristen harus memakai jubahnya sendiri. Banyak kekurangan dlam kekristenan, tetapi permasalan utama ada pada manusia dalam manggapi firman yang memakai dpemikirannya dibangun di atas pemikiran duniawi. Untuk melakukan hal yang benar memang banyak hal yang perlu dikorbankan, yaitu ego kita. Kebergantungan terhadap Roh Kudus sangat penting dalam memahami Alkitab dengan baik dan benar. *(tulisan ini adalah pendapat yang belum sempurna & kokoh).
“Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”
________________________________________________________
Sumber Inspirasi:

1. Dister, Nico Syukur (2004). Teologi Sitematika “Ekonomi Keselamatan”. Yogyakarta: Kanisius.
2.  Erickson, Millar J (2004). Teologi Kristen I – vol III. Malang: Gandum Mas.
3.  Hardiman, Budi F. (2004). Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka.
4.  Pilarzyk, Daniel E (2002). Baerpikir Katolik. Jakarta: Obor.