Pertentangan pemikiran yang terjadi di dalam
pemikiran zaman sekarang, bukanlah hal yang baru. Aroma tersebut bukan baru tercium saat ini, bukan hanya terjadi
zaman sekarang melainkan sudah berlangsung dari zaman ke zaman.
Salah satu masa yang sangat menimbulkan
masalah sekaligus menyelesaikan banyak persoalan terutama persoalan etis. Pertengan
pemikiran yang terjadi, melahirkan suatu perdebatan antara kaum agamis dan
rasionalis, bahkan sikap saling tuduh-menuduh terjadi di antara kedua golongan
tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa tak hanya hal negative yang terjadi dari
era kebangkitan rasionalisme atau zaman perncerahan, banyak hal positif yang
merupakan akibat dari gerakan ini. Juga tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal
negative, dimana persoalan agama di campuradukan dengan persoalan ilmu
pengetahuan, tanpa bisa membedakan mana yang persoalan ilmu pengetahuan dan
mana persoalan agama, persoalan rasio dan iman.
Tak bisa dipungkiran bahwa sejak awal, dalam
bahasa penulis bahwa agama (iman) tidak bertemu dengan ilmu pengetahuan, karena
ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh agama kepada ilmu pengetahuan. Namun,
ilmu pengetahuan juga tidak bisa mengklaim bahwa ini salah dan itu salah, dan
sebaliknya.
Harus diakui bahwa Ada hal-hal yang bisa
diterima oleh agama yang dalam pandangan ilmu pengethuan meruapakan hal yang
benar, tetapi dalam agama merupakan hal yang salah. Dan kedua pandangan ini
masih berlangsung sampai saat ini. Banyak sekali orang-orang yang berwajahkan
agama tetapi dasar pemikiran rasionalisme. Dimana banyak orang meng-Tuhan-kan
rasio, rasiolah yang menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Juga
terjadi hal yang sama dimana berwajahkan rasio tetapi bertubuhkan agama. Bahkan
tak sedikit juga memelihara kedua-duanya. Hal yang demikian menjadi persoalan
yang membingungkan.
Persoalan seperti yang di atas juga terjadi
dalam agama. Masing-masing agama mempunyai keyakinan yang berbeda-beda dan
masing-masingnya saling mengklaim bahwa agama ini salah dan agama itu salah.
Bahkan sudah terjadi banyak hal negative yang terjadi akibat dari sikap saling
mengklaim tersebut. Bahkan agama tidak bisa duduk bersama dalam menyelesaikan
konflik kemanusiaan. Karena persoalan yang bersifat dogmatis. Dalam hal dogma
pun mengandung banyak perbedaan, yang seharus perbedaan tersebut merupakan
suatu keragaman yang membuka mata untuk melihat mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Keragama seharusnya dijadikan sebagai bahan yang pertimbangan dalam
perenungan. Bukan menjadi sebuah persoalan yang memecah-belah yang mengacaukan
kedamaian di antara manusia.
Kerukunan harus ditunjukkan oleh
masing-masing kelompok, sekalipun banyak perbedaan yang terjadi. Memang banyak
hal yang harus dikorbankan dalam kepentingan bersama, banyak sekali hal yang
harus dikorbankan untuk memelihara kedamaian. Salah satu persoalan yang sulit
dihilangkan oleh orang pada umumnya ialah egosentris. Hal ini seharusnya tidak
baik untuk kita pertahankan, karena membawa suatu keegoisan tak dapat disadari
sebagai hal yang tidak baik, yang merusak kedamaian.
Melihat Inklusif dalam perspektif Eksklusif lebih
Jauh
Dalam hal ini teolog berperan penting untuk menciptakan suatu kondisi
yang baik, yang bisa mempertemukan dan duduk bersama untuk memelihara
kedamaian. Dalam tradisi agama, teologi dipandang sebagai unsur yang paling
penting yang mendasari sebuah agama. Tanpa teologi maka agama tidak ada. Karena
itu, dapat dipahami bahwa teologi menjadi bidang kajian yang mengtradisi dalam
sebuah agama. Oleh karenanya, teolog berperan penting dalam menyelesaikan
persoalan dogma. Bukan malah menciptakan kekacauan. Harus mampu membedakan iman
dan pengetahuan. Karena tak semua hal tak bisa di jawab dengan akal, juga
sebaliknya. Karena iman dan akal seperti dua sisi mata uang, yang saling
melengkapi.
Dalam hal ini salh satu pandangan yang menyatakan bahwa pandangan
“pemelihara hubungan, kedamaian” juga tak mampu memberikan pengaruh yang
signifikan kepada agama. Banyak sekali usaha untuk bagaimana menyatukan
berbagai pandangan untuk memelihara hubungan yang baik di antara agama-agama.
Penulis melihat ini merupakan hal yang
positif, tetapi penulis melihat berbagai pandangan inklusif yang mencapuradukan
persoalan iman dan akal. Penulis beranggapan bahwa dalam pembahasan tentang
iman dan akal, harus melatakkan persoalan iman pada posisi masing-masing. karena
penulis melihat bahwa dalam hal tertentu iman logika tidak bisa bersatu, dan
hal ini sudah berlangsung dari zaman ke zaman.
Penulis dalam hal tertentu inklusif secara implisit
mengandung relativisme. Penulis melihat bahwa inklusif adalah hasil dari
pemikiran filsafat era post-modern yang anti terhadap segala proposisi,
anti terhadap segala ide mengenai kemutlakan dimana filsafat post-modern
berpijak diatas dasar relativisme murni, walaupun pada kenyataannya terjebak pada
kemutlakan pemikiran manusia secara subyektif, yang mengakibatkan timbulnya
epistemology subjectivism, yaitu suatu konsep kebenaran yang menganggap bahwa
sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar oleh seseorang/sekelompok
orang, dimana pada dasarnya pemikiran tersebut tidak akan meng-intervensi
pemikiran orang/kelompok lain yang berbeda pandangan dengan kelompoknya selama
tidak terjadi konflik atau bersinggungan dengan kepentingan masing-masing
kelompok.
Secara umum berbeda tetapi tetap menjadi satu
tujuan yaitu memelihara kedamaian, memelihara keharmonisan serta suatu
kerukunan yang ditunjukkan oleh masing-masing kelompok, namun pada dasarnya
telah menyimpang dari hakekatnya. Permasalahan di sini ada pada landasan filosofis-nya
dimana pendapat subyektif manusia-lah yang menjadi penentu apakah sesuatu hal
itu benar atau tidak benar, karena (secara mutlak) tergantung kepada diri
manusia itu sendiri. (bdk. Kejatuhan Manusia – Kejadian 3:1-24).
Suatu pertanyaan yang seharusnya timbul adalah:
"Apakah manusia yang secara hakekat bersifat relatif dengan pemikiran yang
subyektif tersebut dapat menjadi verifikator dari suatu kebenaran?
Konsep kebenaran didalam Iman Kristen dengan tegas sekali
menyatakan bahwa sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar
oleh Firman Tuhan. Dalam hal keselamatan yang menjadi persoalan utama kaum
agamis. Iman Kristen dengan jelas mengatakan;
Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran (alētheia; kebenaran
hakiki/sejati) dan hidup (kekal). Tidak
ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. - Yohanes 14:6 Kristuslah kebenaran
hakiki/sejati dan hanya didalam Dia-lah ada kehidupan kekal (keselamatan),
diluar Kristus sama sekali tidak ada keselamatan.
Dan keselamatan tidak ada di
dalam siapapun juga selain di dalam Dia(Kristus), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada
nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan." –
Kisah Para Rasul 4:12.
Sifat keselamatan yang eksklusif ini yang
menjadi pertentangan orang dunia, karena dunia ini telah jatuh kedalam dosa dan
menjadi dunia yang berdosa, sehingga orang dunia lebih senang dengan ide
pluralisme yang berdiri diatas paham humanistik dan anti proposisi, daripada
ide tentang ke-absolut-an yang menuntut ketaatan yang mutlak (bdk. Mat 16:24),
memiliki ketaatan penuh kepada Firman.
Firman Tuhan
dengan eksklusivitas keselamatan diatas telah secara langsung menggugurkan
konsep pemikiran pluralisme yang menganggap semua agama adalah “sama” dan
sama-sama mengajarkan kebaikan (tidak ada agama yang mengajarkan hal yang tidak
baik), akan tetapi konsep perbuatan baik dalam ke-Kristenan adalah respon
terhadap Anugerah Allah yang mendahului respon manusia, Allah yang mencari
manusia bukan sebaliknya (dengan perbuatan dan amal-ibadah manusia).
Persoalan keselamatan yang bersifat eksklusif
berlandaskan pada penerimaan Alkitab sebagai sepenuhnya Firman Allah. Sedangkan
penulis melihat, inklusif beranggapan bahwa Firman Alkitab berisikan firman
Allah. Di mana sebagian dari isi Alkitab adalah hal fiktif belaka. Dianggap
sebagai mitos saja. Dimana gagasan dan pandangan seperti ini bukanlah hal yang
baru melainkan pokok pemikiran seprti ini sudaha ada, seperti Rudolf Bultman,
yang memandang bahwa Alkitab sebagai mitos. Yang kurang lebih seperti cerita
rakyat yang mengandung pesan moral saja.
Penulis melihat bahwa pandangan inklusif
seperti manusia yang berbaju iman tetapi bertubuh logika. Inklusif memakai
berbagai ayat Alkitab tetapi memahaminya dengan logika murni. Inklusif tidak
baik memhami wahyu sebagai seperti memahami tulisan biasa.
Penulis tahu bhawa inklusif pemikiran yang
demikian di anggap sesuatu yang sangat tradisional. Namun, penulis melihat
bahwa pokok pemikiran dan cara pandang inklusif juga merupakan pokok pemikiran
historis kristis, yang pada dasarnya bangkit melawan teologi. Karena dalam masa
lalu teologi menjadi penguasa atas ilmu pengetahuan. Tetapi beranggapan bahwa
inklusif harus berangkat dari metode dan cara memandang Alkitab dengan caranya
sendiri. Tidak seperti orang yang bertubuh kecil yang bersembunyi dibalik
jubah, yang kelihatan dirinyalah bahwa itulah dia yang sesungguhnya. Inklusif
harus melihat secara objektif bahwa semua persoalan iman tak sepenuhnya dapat
dipahami dengan logika, misalnya dalam penerimaan Alkitab sebagai sepenuhnya
Firman Allah.
Penulis mengakui banyak kekurangan kekurangan
dari pandangan yang berifat eksklusif, banyak yang menimbulkan persoalan bagi
sebagian orang. Namun, penulis melihat bahwa persoalan yang timbul bukanlah
terletak pada Alkitabnya tetapi cara pandang dan sikap yang esktrim yang
dibrengi dengan egosentris. Penulis melihat bahwa ini juga merupakan kemunduran
dari para teolog, dan merupakan hal yang perlu dilakukan perbaikan.
Sikap Inklusif secara implisit yang sangat
kental sekali dengan relativisme, yang tidak memiliki perbedaan yang terlalu
jauh dengan rasionalisme. Walaupun tidak seekstrim paham rasionalisme yang
meng-Tuhan-kan akal atau logika.
Penulis melihat bahwa inklusif tidak cermat
melihat persoalan dogma. Harus diakui bahwa Alkitab tidak ditulis untuk
menjawab semua pertanyaan ilmu pengetahuan. Tidak semua hal yang tidak bisa
dijawab tersebut, bukanlah berarti tidak terjadi. Tidak semua yang dianggap
mitos, terutama tulisan-tulisan dalam Alkitab. Dan semua anggap yang demikian
harus kembali kapada pertanyaan, bagaimana inklusif menerima Alkitab, Apakah
Alkitab sepenuhnya Firman Allah atau tidak?
Dalam banyak diskusi, penulis melihat bahwa
konsep pemikiran yang demikian merupakan wajah lama, bukan sesuatu yang baru.
Dengan bahasa penulis, kemasan baru tetapi isi klasik. Kita tidak bisa
mengorban nilai-nilai hakiki dari kekristenan untuk menjalin sebuh hubungan.
Apakah Alkitab kurang untuk menjelaskan bagaimana menjalani hubungan dengan
individu atau pihak lain?
Penulis melihat Alkitab kurang memberikan
informasi bagaimana menjadi manusia yang baik. Yang mampu bersatu dengan
individu atau dengan pihak lain. Hanya saja dalam implementasinya manusia
kurang memahami dengan baik. Tidak dapat disangkan bahwa sebagian dari pihak
Kekristennan dalam membangun relasi dengan agama lain sangat tertutup. Juga
terbentur persoalan yang bersifat dogmatis. Namun, penulis melihat permasalahan
yang paling besar bukanlah kepada dasar pengajarannya tetapi pada pendekatan
dan penerapannya yang masih diperlukan perbaikan. Jangan sampai individu
terkontaminsi dengan dasar yang dibangun oleh pemikiran duniawi (Kolose 2:8).
John Calvin pernah mengatakan bahwa “biarlah Alkitab membuktikan dirinya adalah
Firman Allah”.
PENUTUP
Memelihara kerukunan antar sesama pemeluk
agama adalah suatu hal yang sangat penting, demikian pula dengan menghargai
pendapat ataupun pandangan orang lain, akan tetapi setiap orang Kristen tidak
boleh kehilangan identitas dirinya dengan menyama-ratakan semua pandangan kepercayaan,
agama dan keyakinan.
Firman Tuhan bersifat mutlak dan merupakan
satu-satunya dasar bagi setiap manusia, pemahaman inilah yang seharusnya
memberi kita semangat untuk membawa berita Injil, berita keselamatan yang
eksklusif didalam Kristus akan tetapi disediakan bagi setiap orang (percaya)
tanpa pandang suku, bangsa, ras, golongan atau latar-belakang apa pun juga.
Orang Kristen tidak boleh bersembunyi dibalik
balik juba orang lain, orang Kristen harus memakai jubahnya sendiri. Banyak
kekurangan dlam kekristenan, tetapi permasalan utama ada pada manusia dalam
manggapi firman yang memakai dpemikirannya dibangun di atas pemikiran duniawi.
Untuk melakukan hal yang benar memang banyak hal yang perlu dikorbankan, yaitu
ego kita. Kebergantungan terhadap Roh Kudus sangat penting dalam memahami
Alkitab dengan baik dan benar. *(tulisan ini adalah pendapat yang belum sempurna &
kokoh).
“Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena
Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,
pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”
________________________________________________________
Sumber Inspirasi:
1. Dister,
Nico Syukur (2004). Teologi Sitematika “Ekonomi Keselamatan”. Yogyakarta:
Kanisius.
2. Erickson,
Millar J (2004). Teologi Kristen I – vol III. Malang: Gandum Mas.
3. Hardiman,
Budi F. (2004). Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka.
4. Pilarzyk,
Daniel E (2002). Baerpikir Katolik. Jakarta: Obor.